JUREID

JUREID
creator

Sabtu, 25 Februari 2012

makalah jureid, fisafat hukum islam pada perkuliahan staim

MAZHAB HUKUM ISLAM DALAM SEJARAH

diajukan Untuk Memenuhi Karakteristik Penilaian Dalam Mata Kuliah Filsafat Hukum Islam





Oleh

kelompok IX

                             JUREID
                 

Dosen Pembimbing
Candra Boy Seroja, SHI,MHI


BADAN LAYANAN UMUM SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MANDAILING NATAL
(BLU-STAIM)


T.A.2011/2012



KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Ilahi Rabbi, Tuhan Seru Sekalian Alam, Yang Maha Mengetahui dan Pemilik Seluruh Ilmu. dengan rahmat dan petunjuk-Nya, Penulis bisa menyelesaikan penulisan makalah ini dan mudah-mudahan dapat dipresentasikan.
Terima kasih kepada kedua Orang Tua Penulis sebagai Motivator penulis, terimakasih juga kepada Bapak Candra Boy Seroja, sebagai pembimbing penulis dalam Filsafat Hukum Islam. serta terima kasih kepada seluruh rekan Mahasiswa sebagai peserta audiensi dalam presentasi makalah ini.
            Makalah ini merupakan kajian terhadap mazhab hukum islam yang pada dasarnya dirujuk dari berbagai sumber pustaka.
            Makalah ini dengan sekian halaman tentu masih kurang memberikan gambaran yang lengkap tentang sejarah mazhab hukum islam yang begitu kompleks dan luas kajiannya. namun demikian semoga makalah ini bisa mewakili sumber ilmu para audiensi dan pembaca, dan dapat memperkaya khasanah pengetahuan kita bersama.
            Terimakasih, dan sukses selalu.


Siabu, 16 Desember 2011
Penulis
JUREID


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang Masalah………………………………………………..………1
B.     Rumusan Masalah………………………………………………………..……..4
C.     Metode Penulisan………………………………………………………….........4
D.     Tujuan Penulisan…………………………………………………………….….4
BAB II MAZHAB HUKUM ISLAM DALAM SEJARAH
A.     Tinjauan Terhadap Mazhab………………………………………………….…..5
B.     Sejarah Singkat Munculnya Mazhab Dalam Hukum Islam……………………..7
C.     Beberapa Mazhab Hukum Islam Dan Ciri-Cirinya……………………………..15
BAB III PENUTUP
  1. Kesimpulan…………………………………………………………….……….27
  2. rekomendasi……………………………………………………………..……...30
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………….31
BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang Masalah
Salah satu phenomena yang menarik dalam sejarah agama islam adalah perkembanagan mazhab hukum ( school of law ) kalimat ini di ucapkan oleh George makdisi ketika memulai tulisannya tentang arti penting mazhab hukum Sunni dalam sejarah hukum islam. Hal ini disebabkan karena phenomena ini selalu menarik minat pengkaji hukum islam, meskipun fenomena mazhab ini tidak selalu bisa digapai oleh pemahaman. Kesulitan dalam menangkap arti penting mazhab hukum dibuktikan dalam kebimbangan dalam menerjemahkan istilah mazhab[1], dan terhadap penulis sendiri sulitnya mengetahui sejarah yang sebenarnya mengenai mazhab itu sendiri. Ini berarti belum ditemukan rumusan memadai bagaimana konsep mazhab hukum islam.
Apakah mazhab itu suatu kumpulan hukum islam seperti kitab Undang-undang dalam hukum positif, sehingga pengikut mazhab tersebut tinggal mengambil hukum tertentu dari kumpulan mazhab itu tadi? Jawabannya pada mulanya atau pada dasarnya tidak demikian, sejak awal, katakanlah sejak masa sahabat, ulam telah berpikir bebas ( ijtihad ), dan ikhtilaf adalah hal yang jamak diantara mereka.[2] Hasil ijtihad inilah yang antara lain kita kenal dengan nama hukum islam.
Hal tersebut di atas tentunya tidak lepas dari perjalanan dan perkembangan mazhab itu sendiri. Bagaimana perjalanan dan perkembangan mazhab adalah suatu hal yang sangat urgen untuk di ketahui oleh kita sebagai umat yang bermazhab.
“Menjawab tantangan modernitas” adalah sebuah jargon yang tersirat dan disepakati dibalik beraneka ragamnya produk pemikiran muslim pada umumnya dan dibidang hukum pada khususnya pada dasawarsa terakhir setelah kaum muslimin teperangkap dalam kejumudan dan taqlid yang cukup lama pasca imam-imam mazhab.
seterusnya, Dalam perkembangan mazhab-mazhab fiqih telah muncul banyak mazhab fiqih. Menurut para ahli sejarah fiqh telah berbeda pendapat sekitar bilangan mazhab-mazhab. Tidak ada kesepakatan para ahli sejarah fiqh mengenai berapa jumlah sesungguhnya mazhab-mazhab yang pernah ada.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa mazhab-mazhab yang pernah ada dalam sejarah umat Islam sangat sulit untuk dipastikan berapa bilangannya, untuk itu guna mengetahui berbagai pandangan mazhab tentang berbagai masalah hukum Islam secara keseluruhan bukanlah persoalan mudah sebab harus mengkaji dan mencari setiap literatur berbagai pandangan mazhab-mazhab tersebut.
Perbedaan pendapat di kalangan umat ini, sampai kapan pun dan di tempat mana pun akan terus berlangsung dan hal ini menunjukkan kedinamisan umat Islam, karena pola pikir manusia terus berkembang. Perbedaan pendapat inilah  yang kemudian melahirkan mazhab-mazhab Islam  yang masih menjadi pegangan orang sampai sekarang. Masing-masing mazhab tersebut memiliki pokok-pokok pegangan yang berbeda yang akhirnya melahirkan pandangan dan pendapat yang berbeda pula, termasuk di antaranya adalah pandangan mereka terhadap kedudukan al-Qur’an dan al-Sunnah.
Mazhab, yang bisa dikatakan adalah masalah khilafiah, merupakan persoalan yang terjadi dalam realitas kehidupan manusia. Di antara masalah khilafiah tersebut ada yang menyelesaikannya dengan cara yang sederhana dan mudah, karena ada saling pengertian berdasarkan akal sehat. Tetapi dibalik itu masalah khilafiah dapat menjadi ganjalan untuk menjalin keharmonisan di kalangan umat Islam karena sikap ta’asub (fanatik) yang berlebihan, tidak berdasarkan pertimbangan akal sehat dan sebagainya.
Perbedaan pendapat dalam lapangan hukum sebagai hasil penelitian (ijtihad), tidak perlu dipandang sebagai faktor yang melemahkan kedudukan hukum Islam, bahkan sebaliknya bisa memberikan kelonggaran kepada orang banyak sebagaimana yang diharapkan Nabi :
Perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah rahmat” (HR. Baihaqi dalam Risalah Asy’ariyyah).
Namun yang terpenting kita tinjau adalah mazhab itu sendiri dan bagaimana mereka muncul, maka dengan begitu penulis berminat dengan mengangkat judul “MAZHAB HUKUM ISLAM DALAM SEJARAH
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah timbulnya mazhab dalam hukum islam ?
2.      Bagaimana ciri-ciri mazhab hukum islam ?
C.     Metode Penulisan
Makalah ini ditulis berdasarkan studi pustaka, yaitu dengan mengambil data dari bulu buku,dokumen, skripsi, dan sejenisnya
D.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah
1.      Untuk menambah wawasan penulis dalam bidang filsafat, khususnya tentang mazhab hukum islam
2.      untuk memenuhi tugas dan  sebagai karakteristik penilaian.


BAB II
MAZHAB HUKUM ISLAM DALAM SEJARAH
A.     Tinjauan Terhadap Mazhab
Ada kesulitan tersendiri ketika mencoba mencari padanan kata mazhab dalam bahasa lain. Para ilmuwan lebih suka menggunakan istilah aslinya karena takut mereduksi maknanya pada saat diterjemahkan kedalam bahasa arab.
Istilah mazhab pada karya-karya awal, diterjemahkan dengan sect ( sekte ), dan rite ( ritus ). Kedua istilah ini ditolak karena dianggap istilah tersebut lebih menggambarkan bangunan keagamaan yang ditolak dan yang dianggap dalam pandangan pemeluk agama yang sama. Hal ini tidak bisa diterapkan pada kasus mazhab sunni, karena semuanya sama-sama dianggap ortodoks. Demikian juga dengan istilah ritus, ini merupakan istilah yang dipakai gereja Kristen dalam menentukan tata peribadatan. tidak seperti ritus kristen yang mensyaratkan formalitas tertentu ketika terjadi perpindahan, dalam islam tidak disyaratkan sama sekali. istilah yan paling dapat diterima untuk menterjemahkan kata mazhab adalah school ( kelompok pemikiran ), karena menawarkan kesulitan yang paling sedikit.[3]
Menurut bahasa, kata mazhab merupakan ism al makan ( kata yang menunjukkan tempat ) dari kata dhahaba yang berarti pergi atau berangkat. Kata mazhab sendiri berarti berpendapat tentang sesuatu atau pendirian ( Al-Mu’taqad ) tentang sesuatu.[4] Secara bahasa menurut M. Hashim Kamali mazhab hukum (legal school ), adalah kumpulan doktrin yang diajarkan oleh seorang pemimpin atau imam, dan diikuti oleh anggota mazhab itu.[5] Ahmad hasan seorang tokoh pembaharu pemikiran islam abad 20 di Indonesia,menyatakan bahwa mazhab adalah koleksi sebuah fatwa atau pendapat dari seorang sarjana besar yang berkaitan dengan masalah ibadat dan muamalat. Dalam hal ini dapat kita gabungkan bahwa mazhab adalah adalah ( mujtahid mutlaq mustaqil ) tentang hukum suatu masalah atau tentang kaidah-kaidah istinbath.[6] bagi George Makdisi, ide mazhab hkum yang dipakai sebagai sebuah kumpulan doktrin yang diikuti oleh anggota mazhab itu, adalah tidak sesuai dengan system dimana para mufti ( jurist consult ) memberikan pendapat hukum secara individual setelah mempraktekkan ijtihad. Ijtihad yang dilakukan secara pribadi  secara alami membawa ketidaksepakatan. suatu pendapat hukum akan dihadapkan dengan pendapat hukum lain oleh anggota mazhab yang sama, atau oleh yang lain. ketidaksepakatan ini ( ikhtilaf) akan membawa kepada perbandingan ( munazara) dengan maksud untuk mempertahankan validitas pendapat seseorang dan meyakinkan lawannya, atau kesahihannya, atau membantah lawannya dengan meruntuhkan tesisnya. Bahkan sering seorang mufti menggunakan mazhab lain untuk untuk menyerang pendapat lawannya.[7]

B.     Sejarah Singkat Munculnya Mazhab Dalam Hukum Islam
Masalah khilafiah merupakan persoalan yang terjadi dalam realitas kehidupan manusia. Di antara masalah khilafiah tersebut ada yang menyelesaikannya dengan cara yang sederhana dan mudah, karena ada saling pengertian berdasarkan akal sehat. Tetapi dibalik itu masalah khilafiah dapat menjadi ganjalan untuk menjalin keharmonisan di kalangan umat Islam karena sikap ta’asub (fanatik) yang berlebihan, tidak berdasarkan pertimbangan akal sehat dan sebagainya.
Bagaimana terbentuknya mazhab-mazhab itu sendiri? berbagai mazhab itu terbentuk karena adanya perbedaan (ikhtilaf) dalam masalah ushul maupun furu’ sebagai dampak adanya berbagai diskusi (munazhara) di kalangan ulama Ushul terkait dengan metode penggalian (tharîqah al-istinbâth), sedangkan furû‘ terkait dengan hukum-hukum syariat yang digali berdasarkan metode istinbâth tersebut.
Perbedaan pendapat dalam lapangan hukum sebagai hasil penelitian (ijtihad), tidak perlu dipandang sebagai faktor yang melemahkan kedudukan hukum Islam, bahkan sebaliknya bisa memberikan kelonggaran kepada orang banyak sebagaimana yang diharapkan Nabi bahwa Perbedaan pendapat di kalangan umat merupakan rahmat.
Hal ini berarti, bahwa orang bebas memilih salah satu pendapat dari pendapat yang banyak itu, dan tidak terpaku   hanya  kepada satu pendapat saja.
kita dapat melihat kepada Mazhab-mazhab hukum Islam secara jelas pada era pemerintahan Dinasti Abbasiyyah, yaitu sejak abad ke 2H/8M. Sejarah kemunculan dan perkembangannya boleh dilihat dalam 4 peringkat, iaitu:
1. Pada era Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para Khalifah al-Rashidun yang empat.
2. Pada era Pemerintahan Dinasti Abbasid di mana pada ketika inilah mazhab-mazhab Islam mulai muncul dan berkembang.
3. Pada era kejatuhan Islam, yaitu mulai abad ke 4H/10M di mana mazhab-mazhab Islam tidak lagi berperanan sebagai sumber ilmu kepada umat tetapi hanya tinggal sebagai sesuatu yang diikuti dan diterima secara mutlak.
4. Era kebangkitan semula Islam dan ilmu-ilmunya sama ada dalam konteks mazhab atau ijtihad ulama’ mutakhir.
 namun disini kita hanya akan berbicara pada era munculnya mazhab yaitu pada dinasti Abbasiyyah ( bani abbas).
Sebagaimana dikatakan dimuka ikhtilaf  telah ada di masa sahabat, hal ini terjadi antara lain karena perbedaan pemahaman di antara mereka dan perbedaan nash (sunnah) yang sampai kepada mereka, selain itu juga karena pengetahuan mereka dalam masalah hadis tidak sama dan juga karena perbedaan pandangan tentang dasar penetapan hukum dan berlainan tempat. Sebagaimana diketahui, bahwa ketika agama Islam telah tersebar meluas ke berbagai penjuru, banyak sahabat Nabi yang telah pindah tempat dan berpencar-pencar ke negara yang baru tersebut. Dengan demikian, kesempatan untuk bertukar pikiran atau bermusyawarah memecahkan sesuatu masalah sukar dilaksanakan. Sejalan dengan pendapat di atas, Qasim Abdul Aziz Khomis,[8] menjelaskan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan ikhtilaf di kalangan sahabat ada tiga yakni : 1. Perbedaan para sahabat dalam memahami nash-nash al-Qur’an 2. Perbedaan para sahabat disebabkan perbedaan riwayat 3. Perbedaan para sahabat disebabkan karena ra’yu. Sementara Jalaluddin Rahmat melihat penyebab ikhtilaf dari sudut pandang yang berbeda, Ia berpendapat bahwa salah satu sebab utama ikhtilaf di antara para sahabat prosedur penetapan hukum untuk masalah-masalah baru yang tidak terjadi pada zaman Rasulullah SAW.[9]
Setelah berakhirnya masa sahabat yang dilanjutkan dengan masa Tabi’in, muncullah generasi Tabi’it Tabi’in[10]. Ijtihad para Sahabat dan Tabi’in dijadikan suri tauladan oleh generasi penerusnya yang tersebar di berbagai daerah wilayah dan kekuasaan Islam pada waktu itu. Generasi ketiga ini dikenal dengan Tabi’it Tabi’in. Di dalam sejarah dijelaskan bahwa masa ini dimulai ketika memasuki abad kedua hijriah, di mana pemerintahan Islam dipegang oleh Daulah Abbasiyyah.
Masa Daulah Abbasiyah adalah masa keemasan Islam, atau sering disebut dengan istilah ‘’The Golden Age’’. disebut sebagai era keemasan/kesejahteraan baik dalam bidang ekonomi, peradaban dan kekuasaan. Selain itu juga telah berkembang berbagai cabang ilmu pengetahuan. Fenomena ini kemudian yang melahirkan cendikiawan-cendikiawan besar yang menghasilkan berbagai inovasi baru di berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Bani Abbas mewarisi imperium besar Bani Umayah. Hal ini memungkinkan mereka dapat mencapai hasil lebih banyak, karena landasannya telah dipersiapkan oleh Daulah Bani Umayah yang besar. [11]Periode ini dalam sejarah hukum Islam juga dianggap sebagai periode kegemilangan fiqh Islam, di mana lahir beberapa mazhab fiqih yang panji-panjinya dibawa oleh tokoh-tokoh fiqh agung yang berjasa mengintegrasikan fiqh Islam dan meninggalkan khazanah luar biasa yang menjadi landasan kokoh bagi setiap ulama fiqh sampai sekarang.
Sebenarnya periode ini adalah kelanjutan periode sebelumnya, karena pemikiran-pemikiran di bidang fiqh yang diwakili mazhab ahli hadis dan ahli ra’yu merupakan penyebab timbulnya mazhab-mazhab fiqh, dan mazhab-mazhab inilah yang mengaplikasikan pemikiran-pemikiran operasional.[12] Ketika memasuki abad kedua Hijriah inilah merupakan era kelahiran mazhab-mazhab hukum dan dua abad kemudian mazhab-mazhab hukum ini telah melembaga dalam masyarakat Islam dengan pola dan karakteristik tersendiri dalam melakukan istinbat hukum
Kelahiran mazhab-mazhab hukum dengan pola dan karakteristik tersendiri ini, tak pelak lagi menimbulkan berbagai perbedaan pendapat dan beragamnya produk hukum yang dihasilkan. Para tokoh atau imam mazhab seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan lainnya, masing-masing menawarkan kerangka metodologi, teori dan kaidah-kaidah ijtihad yang menjadi pijakan mereka dalam menetapkan hukum.[13] Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para tokoh dan para Imam Mazhab ini, pada awalnya hanya bertujuan untuk memberikan jalan dan merupakan langkah-langkah atau upaya dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang dihadapi baik dalam memahami nash al-Quran dan al-Hadis maupun kasus-kasus hukum yang tidak ditemukan jawabannya dalam nash.
Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para imam mazhab tersebut terus berkembang dan diikuti oleh generasi selanjutnya dan ia -tanpa disadari- menjelma menjadi doktrin (anutan) untuk menggali hukum dari sumbernya. Dengan semakin mengakarnya dan melembaganya doktrin pemikiran hukum di mana antara satu dengan lainnya terdapat perbedaan yang khas, maka kemudian ia muncul sebagai aliran atau mazhab yang akhirnya menjadi pijakan oleh masing-masing pengikut mazhab dalam melakukan istinbat hukum.
Teori-teori pemikiran yang telah dirumuskan oleh masing-masing mazhab tersebut merupakan sesuatu yang sangat penting artinya, karena ia menyangkut penciptaan pola kerja dan kerangka metodologi yang sistematis dalam usaha melakukan istinbat hukum. Penciptaan pola kerja dan kerangka metodologi tersebut inilah dalam pemikiran hukum Islam disebut dengan ushul fiqh.[14]
Mengenai perbedaan sumber hukum, hal itu terjadi karena ulama berbeda pendapat dalam 4 (empat) perkara berikut,
1. Metode mempercayai as-Sunnah serta kriteria untuk menguatkan satu riwayat atas riwayat lainnya. Para mujtahidin Irak (Abu Hanifah dan para sahabatnya), misalnya, berhujjah dengan sunnah mutawatirah dan sunnah masyhurah; sedangkan para mujtahidin Madinah (Malik dan sahabat-sahabatnya) berhujjah dengan sunnah yang diamalkan penduduk Madinah
2. Fatwa sahabat dan kedudukannya. Abu Hanifah, misalnya, mengambil fatwa sahabat dari sahabat siapa pun tanpa berpegang dengan seorang sahabat, serta tidak memperbolehkan menyimpang dari fatwa sahabat secara keseluruhan. Sebaliknya, Syafi’i memandang fatwa sahabat sebagai ijtihad individual sehingga boleh mengambilnya dan boleh pula berfatwa yang menyelisihi keseluruhannya.
3. Kehujjahan Qiyas. Sebagian mujtahidin seperti ulama Zhahiriyah mengingkari kehujahan Qiyas sebagai sumber hukum, sedangkan mujtahidin lainnya menerima Qiyas sebagai sumber hukum sesudah al-Quran, as-Sunnah, dan Ijma.
4. Subyek dan hakikat kehujjahan Ijma. Para mujtahidin berbeda pendapat mengenai subyek (pelaku) Ijma dan hakikat kehujjahannya. Sebagian memandang Ijma Sahabat sajalah yang menjadi hujjah. Yang lain berpendapat, Ijma Ahlul Bait-lah yang menjadi hujah. Yang lainnya lagi menyatakan, Ijma Ahlul Madinah saja yang menjadi hujah. Mengenai hakikat kehujjahan Ijma, sebagian menganggap Ijma menjadi hujjah karena merupakan titik temu pendapat (ijtima’i ar-ra’yi); yang lainnya menganggap hakikat kehujjahan Ijma bukan karena merupakan titik temu pendapat, tetapi karena menyingkapkan adanya dalil dari as-Sunnah.
Mengenai perbedaan dalam cara memahami nash, sebagian mujtahidin membatasi makna nash syariat hanya pada yang tersurat dalam nash saja. Mereka disebut Ahl al-Hadats (fukaha Hijaz). Sebagian mujtahidin lainnya tidak membatasi maknanya pada nash yang tersurat, tetapi memberikan makna tambahan yang dapat dipahami akal (ma’qal). Mereka disebut Ahl ar-Ra’yi (fukaha Irak). Dalam masalah zakat fitrah, misalnya, para fukaha Hijaz berpegang dengan lahiriah nash, yakni mewajibkan satu sha’ makanan secara tertentu dan tidak membolehkan menggantinya dengan harganya. Sebaliknya, fukaha Irak menganggap yang menjadi tujuan adalah memberikan kecukupan kepada kaum fakir sehingga mereka membolehkan berzakat fitrah dengan harganya, yang senilai satu sha’ (1 sha’= 2 kg takaran gandum).
Mengenai perbedaan dalam sebagian kaidah kebahasaan untuk memahami nash, hal ini terpulang pada perbedaan dalam memahami cara pengungkapan makna dalam bahasa Arab (uslub al-lughah al-‘arabiyah). Sebagian ulama, misalnya, menganggap bahwa nash itu dapat dipahami menurut manthuq (ungkapan eksplisit)-nya dan juga menurut mafhum mukhalafah (pengertian implisit yang berkebalikan dari makna eksplisit)-nya. Sebagian ulama lainnya hanya berpegang pada makna manthuq dari nash dan menolak mengambil mafhum mukhalafah dari nash.
Sampai saat ini Fiqih ikhtilaf terus berlangsung, mereka tetap berselisih paham dalam masalah furu’iyyah, sebagai akibat dari keanekaragaman sumber dan aliran dalam memahami nash dan mengistinbatkan hukum yang tidak ada nashnya. Perselisihan itu terjadi antara pihak yang memperluas dan mempersempit, antara yang memperketat dan yang memperlonggar, antara yang cenderung rasional dan yang cenderung berpegang pada zahir nash, antara yang mewajibkan mazhab dan yang melarangnya.
Menurut hemat penulis, perbedaan pendapat di kalangan umat ini, sampai kapan pun dan di tempat mana pun akan terus berlangsung dan hal ini menunjukkan kedinamisan umat Islam, karena pola pikir manusia terus berkembang. Perbedaan pendapat inilah  yang kemudian melahirkan mazhab-mazhab Islam  yang masih menjadi pegangan orang sampai sekarang. Masing-masing mazhab tersebut memiliki pokok-pokok pegangan yang berbeda yang akhirnya melahirkan pandangan dan pendapat yang berbeda pula, termasuk di antaranya adalah pandangan mereka terhadap kedudukan al-Qur’an dan al-Sunnah.
C.       Beberapa Mazhab Hukum Islam Dan Ciri-Cirinya.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa mazhab itu banyak, diantaranya para fuqaha dan para mujtahid yang terkenal sebagai pendirinya adalah sebgai berikut: Sufyan bin uyainah dimekkah, Malik b nanas di madinah, Al-hasan al bashri di basrah, Abu hanifah di kufah, Sufyan ats-tsauri di kufah, Al-auza’ di syam, Asy safi’idi mesir, Al-laits bin sa’ad di mesir, Ishaq bin ruhawiah, Abu tsaur di bagdad, Ahmad bin hambal di Baghdad, Dawud azh-zhahiry di bagdad, dan Ibnu jarir ath thabary di Baghdad.
Mereka itulah yang dikenal dengan para imam mazhab dari kalangan Sunni. Selain itu terdapat pula mazhab-mazhab yang dikenal dengan kelompok syi’ah, seperti mazhab Zaidiyah, mazhab Imamiyah, mazhab Isma’iliyah dan mazhab ibadhiyah.[15]
Diantara mazhab-mazhab tersebut, sebagian diantaranya masih ada yang berkembang sampai sekarang, komunitas sunni seperti mazhab hanafi, maliki, asy-Syafi’i, hambali, dan komunitas syi’ah seperti zaidiah,syi’ah imamiah, ibadhi, dan zhahiry.
disini kita hanya akan berbicara mengenai sunni dan syi’ah yang masih berpengikut. karena membicarakan mazhab yang telah punah ini sangat tidak meyakinkan memberi fakta yang sesuai sumbernya.
Sekilas tentang 4 Mazhab sebagai mazhab yang masih diikuti oleh ummat islam masa kini, termasuk muslim Indonesia.[16]
1. Mazhab Hanafi
Pendiri mazhab Hanafi ialah : Nu’man bin Tsabit bin Zautha.Diahirkan pada masa sahabat, yaitu pada tahun 80 H = 699 M. Beliau wafat pada tahun 150 H bertepatan dengan lahirnya Imam Syafi’i R.A. Beliau lebih dikenal dengan sebutan : Abu Hanifah An Nu’man.
Abu Hanifah adalah seorang mujtahid yang ahli ibadah. Dalam bidang fiqh beliau belajar kepada Hammad bin Abu Sulaiman pada awal abad kedua hijriah dan banyak belajar pada ulama-ulama Ttabi’in, seperti Atha bin Abi Rabah dan Nafi’ Maula Ibnu Umar.
Mazhab Hanafi adalah sebagai nisbah dari nama imamnya, Abu Hanifah. Jadi mazhab Hanafi adalah nama dari kumpulan-kumpulan pendapat-pendapat yang berasal dari Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya serta pendapat-pendapat yang berasal dari para pengganti mereka sebagai perincian dan perluasan pemikiran yang telah digariskan oleh mereka yang kesemuanya adalah hasil dari pada cara dan metode ijtihad ulama-ulama Irak . Maka disebut juga mazhab Ahlur Ra’yi masa Tsabi’it Tabi’in.
Dasar-dasar Mazhab Hanafi,
Abu Hanifah dalam menetapkan hukum fiqh terdiri dari tujuh pokok, yaitu : Al Kitab, As Sunnah, Perkataan para Sahabat, Al Qiyas, Al Istihsan, Ijma’ dan Uruf. Murid-murid Abu Hanifah adalah sebagai berikut :a.Abu Yusuf bin Ibrahim Al Anshari b.Zufar bin Hujail bin Qais al Kufi c.Muhammad bin Hasn bin Farqad as Syaibani d.Hasan bin Ziyad Al Lu’lu Al Kufi Maulana Al Anshari .
Daerah-daerah Penganut Mazhab Hanafi, Mazhab Hanafi mulai tumbuh di Kufah ,kemudian tersebar ke negara-negara Islam bagian Timur. Dan sekarang ini mazhab Hanafi merupakan mazhab resmi di Mesir, Turki, Syiria dan Libanon. Dan mazhab ini dianut sebagian besar penduduk Afganistan, Pakistan,Turkistan, Muslimin India dan Tiongkok.
2. Mazhab Maliki
Mazhab Maliki adalah merupakan kumpulan pendapat-pendapat yang berasal dari Imam Malik dan para penerusnya di masa sesudah beliau meninggal dunia. Nama lengkap dari pendiri mazhab ini ialah : Malik bin Anas bin Abu Amir. Lahir pada tahun 93 M = 712 M di Madinah. Selanjutnya dalam kalangan umat Islam beliau lebih dikenal dengan sebutan Imam Malik. Imam Malik terkenal dengan imam dalam bidang hadis Rasulullah SAW.
Imam Malik belajar pada ulama-ulama Madinah. Yang menjadi guru pertamanya ialah Abdur Rahman bin Hurmuz. Beliau juga belajar kepada Nafi’ Maula Ibnu Umar dan Ibnu Syihab Az Zuhri. Adapun yang menjadi gurunya dalam bidang fiqh ialah Rabi’ah bin Abdur Rahman. Imam Malik adalah imam negeri Hijaz, bahkan tokohnya semua bidang fiqh dan hadits.
Dasar-dasar Mazhab Maliki
Dasar-dasar mazhab Maliki diperinci dan diperjelas sampai tujuh belas pokok yaitu :Nashul Kitab, Dzaahirul Kitab, Dalilul Kitab, Mafhum muwafaqah, Tanbihul Kitab, terhadap illat, Nash-nash Sunnah, Dzahirus Sunnah, Dalilus Sunnah, Mafhum Sunnah, Tanbihus Sunnah, Ijma’, Qiyas, Amalu Ahlil Madinah, Qaul Shahabi, Istihsan, Muraa’atul Khilaaf, Saddud Dzaraa’i.
Sahabat-sahabat Imam Maliki dan Pengembangan Mazhabnya Di antara ulama-ulama Mesir yang berkunjung ke Medinah dan belajar pada Imam Malik ialah :Abu Muhammad Abdullah bin Wahab bin Muslim, Abu Abdillah Abdur Rahman bin Qasim al Utaqy, Asyhab bin Abdul Aziz al Qaisi,  Abu Muhammad Abdullah bin Abdul Hakam, Asbagh bin Farj al Umawi, Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam, dan Muhammad bin Ibrahim bin Ziyad al Iskandari.
Adapun ulama-ulama yang mengembangkan mazhab Maliki di Afrika dan Andalus ialah : Abu Abdillah Ziyad bin Abdur Rahman al Qurthubi, Isa bin Dinar al Andalusi,  Yahya bin Yahya bin Katsir Al Laitsi, Abdul Malik bin Habib bin Sulaiman As Sulami, Abdul Hasan Ali bin Ziyad At Tunisi, Asad bin Furat, danAbdus Salam bin Said At Tanukhi.
Sedang Fuqaha-fuqaha Malikiyah yang terkenal sesudah generasi tersebut di atas adalah sebagai berikut : Abdul Walid al Baji, Abdul Hasan Al Lakhami, Ibnu Rusyd Al Kabir, Ibnu Rusyd Al Hafiz, Ibnu ‘Arabi, Ibnul Qasim bin Jizzi,
Daerah-daerah yang Menganut Mazhab Maliki, Awal mulanya tersebar di daerah Madinah, kemudian tersebar sampai saat ini di Marokko, Aljazair, Tunisia, Libia, Bahrain, dan Kuwait.
3.Mazhab Syafi’i.
Mazhab ini dibangun oleh Al Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi’i seorang keturunan Hasyim bin Abdul Muthalib. Beliau lahir di Guzah tahun 150 H bersamaan dengan tahun wafatnya Imam Abu Hanifah yang menjadi Mazhab yang pertama.Guru Imam Syafi’i yang pertama ialah Muslim bin Khalid, seorang Mufti di Mekah. Imam Syafi’i sanggup hafal Al Qur-an pada usia sembilan tahun. Setelah beliau hafal Al Qur-an barulah mempelajari bahasa dan syi’ir ; kemudian beliau mempelajari hadits dan fiqh.
Mazhab Syafi’i terdiri dari dua macam ; berdasarkan atas masa dan tempat beliau mukim. Yang pertama ialah Qaul Qadim; yaitu mazhab yang dibentuk sewaktu hidupdi Irak. Dan yang kedua ialah Qul Jadid; yaitu mazhab yang dibentuk sewaktu beliau hidup di Mesir pindah dari Irak.
Keistimewaan Imam Syafi’i dibanding dengan Imam Mujtahidin yaitu bahwa beliau merupakan peletak batu pertama ilmu Ushul Fiqh dengan kitabnya Ar Risaalah. Dan kitabnya dalam bidang fiqh yang menjadi induk dari mazhabnya ialah : Al-Um.
Dasar-dasar Mazhab syafi’i.
Dasar-dasar atau sumber hukum yang dipakai Imam Syafi’i dalam mengistinbat hukum syara’ adalah :  Al Kitab, Sunnah Mutawatirah, Al Ijma’, Khabar Ahad, Al Qiyas, Al Istishab.
Sahabat-sahabat beliau yang berasal dari Irak antara lain : Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid bin Yaman al-Kalabi al-Bagdadi, Ahmad bin Hanbal yang menjadi Imam Mazhab keeempat, Hasan bin Muhammad bin Shabah Az Za’farani al-Bagdadi, Abu Ali Al Husain bin Ali Al Karabisi, dan Ahmad bin Yahya bin Abdul Aziz al Bagdadi.
Adapun sahabat beliau dari Mesir : Yusuf bin Yahya al Buwaithi al Misri, Abu Ibrahim Ismail bin Yahya al Muzani al Misri, Rabi’ bin Abdul Jabbar al Muradi,   Harmalah bin Tahya bin Abdullah Attayibi, Yunus bin Abdul A’la Asshodafi al Misri, dan Abu Bakar Muhammad bin Ahmad.
Daerah-daerah yang Menganut Mazhab Syafi’i sampai sekarang dianut oleh umat Islam di : Libia, Mesir, Indonesia, Pilipina, Malaysia, Somalia, Arabia Selatan, Palestina, Yordania, Libanon, Siria, Irak, Hijaz, Pakistan, India, Jazirah Indo China, Sunni-Rusia dan Yaman.
4. Mazhab Hambali.
Pendiri Mazhab Hambali ialah : Al Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal bin Hilal Azzdahili Assyaibani. Beliau lahir di Bagdad pada tahun 164 H. dan wafat tahun 241 H. Ahmad bin Hanbal adalah seorang imam yang banyak berkunjung ke berbagai negara untuk mencari ilmu pengetahuan, antara lain : Siria, Hijaz, Yaman, Kufah dan Basrah. Dan beliau dapat menghimpun sejumlah 40.000 hadis dalam kitab Musnadnya.
Dasar-dasar Mazhabnya.
Adapun dasar-dasar mazhabnya dalam mengistinbatkan hukum adalah :
  Nash Al Qur-an atau nash hadits.
  Fatwa sebagian Sahabat.
  Pendapat sebagian Sahabat.
  Hadits Mursal atau Hadits Doif.
  Qiyas.
Dalam menjelaskan dasar-dasar fatwa Ahmad bin Hanbal ini didalam kitabnya
I’laamul Muwaaqi’in.
Adapun ulama-ulama yang mengembangkan mazhab Ahmad bin Hanbal adalah sebagai berikut :
  Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Hani yang terkenal dengan nama Al Atsram; dia telah mengarang Assunan Fil Fiqhi ‘Alaa Mazhabi Ahmad.
  Ahmad bin Muhammad bin Hajjaj al Marwazi yang mengarang kitab As Sunan Bisyawaahidil Hadis.
  Ishaq bin Ibrahim yang terkenal dengan nama Ibnu Ruhawaih al Marwazi dan termasuk ashab Ahmad terbesar yang mengarang kitab As Sunan Fil Fiqhi.
Ada beberapa ulama yang mengikuti jejak langkah Imam Ahmad yang menyebarkan mazhab Hambali, diantaranya :
  Muwaquddin Ibnu Qudaamah al Maqdisi yang mengarang kitab Al Mughni.
  Syamsuddin Ibnu Qudaamah al Maqdisi pengarang Assyarhul Kabiir.
  Syaikhul Islam Taqiuddin Ahmad Ibnu Taimiyah pengarang kitab terkenal Al Fataawa.
  Ibnul Qaiyim al Jauziyah pengarang kitab I’laamul Muwaaqi’in dan Atturuqul Hukmiyyah fis Siyaasatis Syar’iyyah.Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qaiyim adalah dua tokoh yang membela dan mengembangkan mazhab Hambali.
Daerah yang Menganut Mazhab Hambali. Awal perkembangannya, mazhab Hambali berkembang di Bagdad, Irak dan Mesir dalam waktu yang sangat lama. Pada abad XII mazhab Hambali berkembang terutama pada masa pemerintahan Raja Abdul Aziz As Su’udi. Dan masa sekarang ini menjadi mazhab resmi pemerintahan Saudi Arabia dan mempunyai penganut terbesar di seluruh Jazirah Arab, Palestina, Siria dan Irak.
Demikian sekilas sejarah dan penjelasan dari keempat mazhab yang terkenal.
4. Mazhab Zaidiyah
Mazhab ini dikaitkan kepada Zaid bin Ali Zainal Abidin (w. 122 H./740 M.), seorang mufasir, muhaddits, dan faqih di zaman-nya. Ia banyak menyusun buku dalam berbagai bidang ilmu. Dalam bidang fiqh ia menyusun kitab al-Majmu' yang menjadi rujukan utama fiqh Zaidiyah. Namun ada diantara ulama fiqh yang menyatakan bahwa buku tersebut bukan tulisan langsung dari Imam Zaid. Namun Muhammad Yusuf Musa (ahli fiqh Mesir) menyatakan bahwa pemyataan tersebut tidak didukung oleh alasan yang kuat. Menurutnya, Imam Zaid di zamannya dikenal sebagai seorang faqih yang hidup sezaman dengan Imam Abu Hanifah, sehingga tidak mengherankan apabila Imam Zaid menulis sebuah kitab fiqh. Kitab al-Majmu' ini kemudian disyarah oleh Syarifuddin al-Husein bin Haimi al-Yamani as-San'ani (w.1221 H.) dengan judul ar-Raud an-Nadir Syarh Majmu, al-Fiqh al-Kabir.
Para pengembang Mazhab Zaidiyah yang populer diantaranya adalah Imam al-Hadi Yahya bin Husein bin Qasim (w. 298 H.), yang kemudian dikenal sebagai pendiri Mazhab Hadawiyah. Dalam menyebarluaskan dan mengembangkan Mazhab Zaidiyah, Imam al-Hadi menulis beberapa kitab fiqh. di antaranya Kitab al-Jami' fi al-Fiqh, ar-Risalah fi al-Qiyas, dan al-Ahkam fi al-Halal wa al-Haram. Setelah itu terdapat imam Ahmad bin Yahya bin Murtada (w. 840 H.) yang menyusun buku al-Bahr az-Zakhkhar al-Jami' li Mazahib 'Ulama' al-Amsar.
Pada dasarnya fiqh Mazhab Zaidiyah tidak banyak berbeda dengan fiqh ahlulsunnah. Perbedaan yang bisa dilacak antara lain: ketika berwudlu tidak perlu menyapu telinga, haram memakan makanan yang disembelih non-muslim, dan haram mengawini wanita ahlulkitab. Disamping itu, mereka tidak sependapat dengan Syiah Imamiyah yang menghalalkan nikah mut'ah. Menurut Muhammad Yusuf Musa, pemikiran fiqh Mazhab Zaidiyah lebih dekat dengan pemikiran fiqh ahlurra'yi
Penyebaran Dan Kawasan Pengaruhnya
1. Negara zaidiyah pertama kali didirikan oleh Hasan bin Ali bin Zaid Tahun 250 H di Dailam dan Thabristan.
2. Al Hadi ila al haq kemudian mendirikan Negara zaidiyah ke-2 di Yaman pada abad ke-3 Hijriah.
3. Zaidiyah tersebar ke Timur sampai ke Negara-negara Hazr ( wilayah Afghanistan ) ,Dailam, Thobristan dan Jailan. Sedangkan ke Barat tersebar sampai Negara-negara Hijaz dan Mesir. Yaman tergolong pusat zaidiyah. Sampai sekarang sekurang-kurangnya 2/3 ( Dua per tiga ) penduduk yaman adalah penganut zaidiyah.
5.  Syi’ah Imamiah
Mayoritas Syi’ah adalah Syi’ah Imamiah Itsna ‘Asyariyah. Seperti yang telah disinggung di atas, mazhab ini memisahkan diri dari mayoritas muslimin setelah Rasulullah SAW meniggal dunia dikarenakan dua faktor urgen yang tidak diindahkan oleh mayoritas muslimin kala itu. Dua faktor urgen tersebut adalah imamah (kepemimpinan) dan kewajiban untuk merujuk kepada Ahlul Bayt a.s. dalam segala bidang ilmu pengetahuan.
Mereka meyakini bahwa Rasulullah SAW adalah penutup semua nabi dan para imam a.s. tersebut --berdasarkan hadis-hadis mutawatir yang disabdakan olehnya-- berjumlah dua belas orang, tidak lebih dan tidak kurang.
Mereka juga meyakini bahwa Al Quran mencakup semua hukum yang diperlukan oleh kehidupan manusia dan hukum-hukum tersebut tidak akan pernah mengalami perubahan dan renovasi. Bahkan hukum-hukum tersebut adalah kekal dan abadi hingga hari kiamat.
Dari sini dapat diketahui perbedaan mendasar antara Syi’ah Imamiah, Syi’ah Zaidiyah dan Syi’ah Ismailiyah. Syi’ah Zaidiyah meyakini bahwa imamah bukanlah hak prerogatif Ahlul Bait a.s. dan para imam tidak berjumlah dua belas orang serta mereka tidak mengikuti fiqih Ahlul Bayt a.s. Sementara, Syi’ah Ismailiyah meyakini bahwa para imam berjumlah tujuh orang, Rasulullah SAWW bukanlah penutup para nabi dan hukum-hukum syari’at bisa dirubah. Bahkan --menurut keyakinan Bathiniyah-- kewajiban manusia sebagai makhluk Allah (taklif) bisa dihapus total.
Demikian beberapa penjelasan singkat yang kami paparkan kepada kita, karena kami paparkan pun secara lengkap rasanya tidak cukup waktu untuk menyelesaikannya. untuk lebih lengkapnya silahkan dilihat diberbagai sumber yang ada.












BAB III
PENUTUP
  1. Kesimpulan
Mazhab-mazhab hukum Islam secara jelas pada era pemerintahan Dinasti Abbasiyyah, yaitu sejak abad ke 2H/8M. Sejarah kemunculan dan perkembangannya boleh dilihat dalam 4 peringkat, iaitu: pertama, Pada era Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para Khalifah al-Rashidun yang empat. Kedua, Pada era Pemerintahan Dinasti Abbasid di mana pada ketika inilah mazhab-mazhab Islam mulai muncul dan berkembang. ketiga Pada era kejatuhan Islam, yaitu mulai abad ke 4H/10M di mana mazhab-mazhab Islam tidak lagi berperanan sebagai sumber ilmu kepada umat tetapi hanya tinggal sebagai sesuatu yang diikuti dan diterima secara mutlak.keempat, Era kebangkitan semula Islam dan ilmu-ilmunya sama ada dalam konteks mazhab atau ijtihad ulama’ mutakhir.
kedua Hijriah inilah merupakan era kelahiran mazhab-mazhab hukum dan dua abad kemudian mazhab-mazhab hukum ini telah melembaga dalam masyarakat Islam dengan pola dan karakteristik tersendiri dalam melakukan istinbat hukum
Kelahiran mazhab-mazhab hukum dengan pola dan karakteristik tersendiri ini, Para tokoh atau imam mazhab seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan lainnya, masing-masing menawarkan kerangka metodologi, teori dan kaidah-kaidah ijtihad yang menjadi pijakan mereka dalam menetapkan hukum. Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para tokoh dan para Imam Mazhab ini, pada awalnya hanya bertujuan untuk memberikan jalan dan merupakan langkah-langkah atau upaya dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang dihadapi baik dalam memahami nash al-Quran dan al-Hadis maupun kasus-kasus hukum yang tidak ditemukan jawabannya dalam nash.
Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para imam mazhab tersebut terus berkembang dan diikuti oleh generasi selanjutnya dan ia -tanpa disadari- menjelma menjadi doktrin (anutan) untuk menggali hukum dari sumbernya. Dengan semakin mengakarnya dan melembaganya doktrin pemikiran hukum di mana antara satu dengan lainnya terdapat perbedaan yang khas, maka kemudian ia muncul sebagai aliran atau mazhab yang akhirnya menjadi pijakan oleh masing-masing pengikut mazhab dalam melakukan istinbat hukum.
mazhab Sunni ( ahlussunnah wal jamaah ) yang berkembang sekarang adalah mazhab hanafi, maliki, hambali dan Syafi’i, sedangkan dari kelompok syi’ah, ada ismailiyah, zaidiyah, dan lainnya yang tidak kita dapatkan sumbernya.
ahlus sunnah sebagaimana dipaparkan didepan memiliki cirri-ciri sebagai berikut[17]
1.      Ahlus Sunnah senantiasa menjadikan al-Qur'an dan al-Sunnah sebagaimana difahami serta dilaksanakan oleh al-Salafussoleh sebagai sumber syariah di dalam semua perkara berkaitan ibadah, akidah, muamalah dan akhlak. Setiap yang sesuai dengan al-Qur'an dan al-Sunnah mereka menerima dan menetapkannya. Sebaliknya, setiap yang bertentangan dengan al-Qur'an dan al-Sunnah mereka menolaknya, dengan tidak mengira siapa pun yang berpendapat dengannya.
2.      Ahlus Sunnah tidak mengagungkan nama-nama imam ataupun ulamak yang mereka ambil seluruh ucapannya kecuali Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Walaubagaimanapun mereka tetap menghormati seluruh imam-imam Ahlus Sunnah Wal Jamaah terutamanya imam-imam mazhab yang empat 
3.      Ahlus Sunnah adalah orang yang paling mengetahui tentang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Mereka mengetahui petunjuk, amal, ucapan dan ketetapan-ketetapan daripada baginda
4.      Para pengikut Ahlus Sunnah mengagungkan para al-Salafussoleh, meneladani dan menjadikan mereka sebagai teladan 
5.      Ahlus Sunnah tidak mengutamakan atau meninggikan logik akal berbanding dengan al-Qur’an dan al-Sunnah. Ini adalah kerana akal tidak dapat berdiri sendiri untuk memahami syariah, kerana akal itu lemah dan terbatas. 
6.      Ahlus Sunnah adalah kelompok yang paling amanah dalam hal-hal yang berkaitan dengan ilmu agama. Sekiranya mereka menukil sesuatu pendapat atau pandangan, mereka tidak memalsukan atau memutarbelitkan fakta. Jika mereka menukil dari seseorang yang berbeza pendapat dengan mereka, maka mereka menukilnya dengan sempurna, tidak mengambil apa yang sesuai dengan pendapatnya dan meninggalkan yang lain.
7.      Ahlus Sunnah adalah kelompok pertengahan dan pilihan. Sikap kesederhanaan Ahlus Sunnah jelas kelihatan dalam banyak hal yang berkaitan dengan aqidah, hukum, ibadah, akhlak dan lain-lainnya. Mereka adalah kelompok pertengahan di antara yang ekstrem dan yang meremehkan.
8.      Ahlus Sunnah tidak berselisih dalam masalah-masalah prinsip aqidah.
9.      Ahlus Sunnah menetapkan nama-nama Allah yang indah serta sifat-sifatNya yang Maha Sempurna seperti yang telah dikhabarkan oleh al-Qur’an dan al-Sunnah yang sahih. Kaedah inilah yang dinamakan dengan Tauhid al-Asma wa al-Sifat dan inilah juga kaedah yang telah disepakati oleh Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam al-Syafi’i, Imam Ahmad dan juga pegangan sebenar Imam Abu al-Hassan al-Asya’ari rahimahumullah. 
10.  Ahlus Sunnah percaya bahawa al-Qur’an adalah kalamullah (kata-kata Allah) dan bukan makhluk sebagaimana kelompok Muktazilah.
11.  Ahlus Sunnah berkeyakinan bahawa orang-orang yang beriman akan dapat melihat Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan kedua mata mereka di akhirat kelak. Perkara ini diingkari oleh golongan Muktazilah.
adapun syi’ah adalah bercirikan sebagai berikut:
1.      Berkenaan dengan masalah ijtihad, mereka meyakini bahwa pintu ijtihad masih terbuka untuk siapa saja yang mampu. Barang siapa yang tidak mampu berijtihad dia harus taqlid. Taqlid kepada ahlul bait lebih utama daripada taqlid kepada orang lain.
2.      Zaidiyah tidak meyakini imam sebagai ma’shum dari segala dosa dan kesalahan, selain itu mereka tidak berlebih lebihan dalam menghormati imam dan wajib keluar dari imam yang dzalim dan tidak wajib mentaatinya berbeda dengan syi’ah pada umumnya.
3.      Qodlo’ dan qodar wajib diimani, kata zaidiyah manusia itu bebas memilih dalam mentaati atau mendurhakai Allah, dengan demikian merka memisahkan antara irodah dan mahabbah atau ridlo, ini mirip pemahaman beberapa kalangan ulama’ ahlu sunnah wal jama’ah.
4.      Sumber-sumber hokum menurud zaidiyah adalah: Alqur’an, As Sunna, Qias termasuk mashlahah mursalah dan Akal. Dengan demikian apa yang menurut akal jelas-jelas benar maka harus dikerjakan, sedangkan apa-apa yang menurut akal jelas-jelas jelek maka wajib ditinggalkan.
  1. rekomendasi
Kita sebagai muslim dan generasi Islam yang akan harus melanjutkan perjuangan para ulama kita dalam berijtihad, harus benar-benar menguasai sistem ijtihad yang baik. dengan melihat perbedaan-perbedaan yang ada pada masa para imam mazhab, tidak meutup kemungkinan di era seperti sekarang ini akan bermunculan masalah yang diakaibatkan perbedaan pandangan dan dan persepsi tentang islam.
DAFTAR PUSTAKA
George Makdisi, “The Sicnificant Of The Sunni School Of Law In Islamic Religious History” Dalam Internasional Junrnal of Midlle East Studies.
Rahkmat, Jalaluddin. 1995. “Tinjauan Kritis Atas Sejarah Fiqh: Dari Fiqh Al Khulafaurrasydin Hingga Fiqh Liberalism” dalam Budi Munawar Rahman ( eds ). Konteskualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah”. Cet.2 Jakarta Yayasan: Paramadina
 Kamali, M. Hashim. 1995, “Madhhab” dalam the Encyclopedia of religion, mercia eliade
Wehrs, Hans. 1993. A Dictionary Of Modern Written Arabic ( Arabic English ), Ithaca: spoken language service inc,
M. Ali Hasan. 1996.  Perbandingan Mazhab, cet.1, eds 1, Jakarta: Grafindo
Khomis, Qasim Abdul Aziz. 2002.  Aqwal al-shahabah. Kairo : Maktabah al-Iman
Rahmat, Jalaluddin. Tinjauan Kritis Atas Sejarah Fiqh. Artikel yayasan Paramadina, www.   Media.Isnet.org/islam/paramadina/konteks/sejarahfiqh01.html
A. Hasjmy, 1995. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: PT. Bulan Bintang,
Ismail, Ahmad satori. 2003. Pasang Surut Perkembangan Fiqh Islam, Jakarta :Pustaka Tarbiatuna
Mun’im A. Sirry. 1995. Sejarah Fiqh Islam, Surabaya : Risalah Gusti
Romli SA. 1999. Muqaranah Mazahib fil Ushul, Jakarta : Gaya Media Pratama
Supriyadi, Dedi. 2007. Sejarah Hukum Islam. dari kawasan jazirah arab sampai Indonesia, bandung: pustaka setia


[1]  George Makdisi, “The Sicnificant Of The Sunni School Of Law In Islamic Religious History” Dalam Internasional Junrnal of Midlle East Studies. Hal 1
[2]  Jalaluddin Rahkmat, “Tinjauan Kritis Atas Sejarah Fiqh: Dari Fiqh Al Khulafaurrasydin Hingga Fiqh Liberalism” dalam Budi Munawar Rahman ( eds ) 1995. Konteskualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah”. Cet.2 Yayasan Paramadina : Jakarta.
[3] M. Hashim Kamali, “madhhab” dalam the Encyclopedia of religion, mercia eliade, 1995, hal. 66
[4] Hans Wehrs, A Dictionary Of Modern Written Arabic ( Arabic English ), ithaca, spoken language service inc, 1993.hal. 362
[5] M. Hashim Kamali “ madhhab” op.cit, hal. 1
[6] M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, cet.1, eds 1, Jakarta: Grafindo, 1996. hal. 86
[7] Ibid, ha. 2
[8] Qasim Abdul Aziz Khomis, Aqwal al-shahabah, Kairo : Maktabah al-Iman, 2002, hal.161
[9] Jalaluddin Rahmat, Tinjauan Kritis Atas Sejarah Fiqh,  Artikel yayasan Paramadina, www.   Media.Isnet.org/islam/paramadina/konteks/sejarahfiqh01.html
[10] Tabi’it Tabi’in adalah mereka yang melanjutkan generasi Tabi’iin,  mereka hidup sekitar masa kedua Hijrah. Lihat Abd. Al-Wahab Ibrahim Abu Sulaiman, al-Fikr al-Ushuli, Jeddah : Dar al-Syuruq, Cet. I, 1983, hal. 48
[11] A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1995,  hal.. 210.
[12] Ahmad satori Ismail, Pasang Surut Perkembangan Fiqh Islam, Jakarta : Pustaka Tarbiatuna, Cet. I, 2003, hal. 106
[13] Mun’im A. Sirry, Sejarah Fiqh Islam, Surabaya : Risalah Gusti, Cet I, 1995, hal. 61-62.
[14] Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, Jakarta : Gaya Media Pratama, Cet. I, 1999, hal. 3
[15] Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, dari kawasan jazirah arab sampai Indonesia, bandung: pustaka setia, 2007, hal.106
[16] ibid, hal. 109

Tidak ada komentar: