JUREID

JUREID
creator

Sabtu, 25 Februari 2012

kaidah hukum islam

MAKALAH

KAIDAH-KAIDAH DASAR HUKUM ISLAM


diajukan Untuk Memenuhi Karakteristik Penilaian Dalam Mata Kuliah Filsafat Hukum Islam






Oleh

kelompok XI

Nama : jureid

Dosen Pembimbing
Candra Boy Seroja, SHI,MHI


BADAN LAYANAN UMUM SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MANDAILING NATAL
(BLU-STAIM)


T.A.2011/2012


KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Ilahi Rabbi, Tuhan Seru Sekalian Alam, Yang Maha Mengetahui dan Pemilik Seluruh Ilmu. dengan rahmat dan petunjuk-Nya, Penulis bisa menyelesaikan penulisan makalah ini dan mudah-mudahan dapat dipresentasikan.
Terima kasih kepada kedua Orang Tua Penulis sebagai Motivator penulis, terimakasih juga kepada Bapak Candra Boy Seroza, sebagai pembimbing penulis dalam Filsafat Hukum Islam. serta terima kasih kepada seluruh rekan Mahasiswa sebagai peserta audiensi dalam presentasi makalah ini.
            Makalah ini merupakan kajian terhadap Kaidah-Kaidah Hukum Islam yang pada dasarnya dirujuk dari berbagai sumber pustaka.
            Makalah ini dengan sekian halaman tentu masih kurang memberikan gambaran yang lengkap tentang Kaidah-Kaidah Hukum Islam yang begitu kompleks dan luas kajiannya. namun demikian semoga makalah ini bisa mewakili sumber ilmu para audiensi dan pembaca, dan dapat memperkaya khasanah pengetahuan kita bersama.
            Terimakasih, dan sukses selalu.


Siabu, 16 Desember 2011
Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................... i
DAFTAR ISI...................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
  1. Latar belakang masalah............................................................................. 1
  2. Rumusan masalah...................................................................................... 2
BAB II KAIDAH-KAIDAH HUKUM ISLAM
  1. Pengertian kaidah...................................................................................... 3
  2. Kaidah induk............................................................................................ 4
BAB III PENUTUP
  1. Kesimpulan............................................................................................. 16
  2. Saran...................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Untuk menetapkan hukum atas sebuah persoalan yang dihadapi oleh ummat Islam maka jalan yang ditempuh oleh para ulama untuk menetapkannya adalah dengan melihatnya dalam al-Qur’an, kalau hal tersebut telah diatur dalam al-Qur’an, maka ditetapkanlah hukumnya sesuai dengan ketetapan al-Qur’an. Dan apabila dalam al-Qur’an tidak ditemukan hukumnya, maka para ulama mencarinya dalam-Al-Hadis. Apabila dalam al-Hadis telah diatur, maka para ulama menetapkan hukumnya sesuai dengan ketentuan al-Hadis. Persoalan baru muncul adalah manakala hukum atas persoalan tersebut tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan juga dalam al-Hadis, sebab al-Qur’an dan al-Hadis adalah merupakan sumber hukum pokok (primer) dalam ketentuan hukum Islam.
Dalam menghadapi kondisi yang seperti ini maka para ulama mencari sumber hukum lain yang dapat dijadikan patokan dan pegangan dalam memberikan hukum atas persoalan yang timbul, sebab sebagaimana diketahui bahwa agama Islam itu telah sempurna dan tidak akan ada lagi penambahan hukum yang bersifat Syar’iyyah, hanya saja untuk menjawab persoalan-persoalan hukum yang timbul di kemudian hari telah diberikan rambu-rambu dan ketentuan-ketentuan lainnya dalam rangka memberikan hukum atas persoalan baru yang timbul.
Sumber hukum baru sebagaimana dimaksudkan di atas, para ulama berbeda pendapat dalam menetapkannya. Ada yang berpendapat bahwa apabila suatu persoalan baru timbul dan itu tidak diatur dalam al-Qur’an dan al-Hadis, maka dikembalikan kepada Ijma’. Dalam hal kembali kepada Ijma’ ini, para ulama nampaknya sepakat, hanya saja yang disepakati secara utuh dalam rangka Ijma’ adalah Ijma’ yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadis, sedangkan Ijma’ yang bersumber di luar al-Qur’an dan al-Hadis, terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama. Ada yang setuju dan ada juga yang tidak setuju. Yang setuju dengan Ijma’ berpendapat bahwa sesuai dengan hadis Nabi yang menyebutkan bahwa, UmmatKu tidak akan bersepakat dalam hal kesesatan. Yang tidak setuju dengan Ijma’ berpendapat bahwa Ijma’ itu adalah hasil pemikiran dan pendapat dari para Ulama, yang namanya hasil pemikiran dan pendapat bisa salah dan juga bisa benar, oleh karena itu tidak bisa dijadikan sebagai hukum yang pasti.[1]
Apabila dalam ketiga hal tersebut di atas tidak juga ditemukan maka para ulama mengembalikannya kepada sumber-sumber hukum yang lain seperti Qiyas, Istihsan, Istishab, Maslahah Mursalah dan Syar’u man Qablana. Untuk menetapkan sumber-sumber hukum Islam ini, selain para ulama berbeda pendapat, mereka (para ulama) juga berbeda pendapat dalam menetapkan kaidah-kaidahnya. Perbedaan dalam kaidah-kaidah ini secara otomatis akan menimbulkan perbedaan-perbedaan dalam bidang produk hukum, sebab kaidah sangat menentukan produk hukum. Namun satu hal yang pasti adalah kaidah-kaidah sangat menentukan dan sangat membantu seseorang dalam mengistimbathkan hukum.[2]
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian kaidah-kaidah dasar hokum islam ?
2. Bagaimana yang disebut dengan macam-macam kaidah induk?













BAB II
KAIDAH KAIDAH DASAR HUKUM ISLAM
  1. Pengertian Kaidah
Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Dalam bahasa arab, kaidah memilik banyak arti diantaranya: al-asas (dasar atau fondasi), al-Qanun (peraturan dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara). Al Qi’dah (cara duduk, yang baik atau yang buruk), Qo’id ar rojul (Istrinya), Dzul Qo’dah (nama salah satu bulan qomariyah yang mana orang orab tidak mengadakan perjalanan didalamnya) dan lain sebagainya.[3] hal ini sesuai dengan Al- Qur’an surat An-Nahl ayat 26:
Sesungguhnya orang-orang yang sebelum mereka telah mengadakan makar, maka Allah menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya, lalu atap (rumah itu) jatuh menimpa mereka dari atas, dan datanglah azab itu kepada mereka dari tempat yang tidak mereka sadari”[4]

Sedangkan bagi mayoritas ulama ushul fiqh sebagaimana disebutkan oleh Drs. H. Muchlis Usman, MA. mendefinisikan kaidah sebagai Hukum yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan sebagian besar bagian-bagiannya. sedangkan menurut Dr. Ahmad Syafi’i kaidah adalah Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-bagiannya.“[5]
Dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa kaidah merupakan aturan-aturan yang dipergunakan dalam menggali dan menemukan suatu hukum syar’i.

  1. Kaidah Induk
Dalam perumusan hukum islam, kita mengenal dua macam kaidah yaitu kaidah fiqhiyah, dan kaidah ushuliyah. Kaidah fiqhiyah merupakan Dasar-dasar yang bertalian dengan hukum syarai yang bersifat mencakup (sebahagian besar bahagian-bahagiannya) dalam bentuk teks-teks perundang-undangan yang ringkas (singkat padat) yang mengandung penetapan hukum-hukum yang umum pada peristiwa-peristiwa yang dapat dimasukkan pada permasalahannya.
Kaidah Fiqhiyah sebagaimana tersebut berfungsi untuk memudahkan para mujtahid atau para fuqoha yang ingin mengistinbathkan hukum yang bersesuaian dengan tujuan syara’ dan kemaslahatan manusia.[6] Oleh karena itulah maka sangat tepat apabila pembahasan tentang Kaidah Fiqhiyah ataupun Kaidah Hukum termasuk dalam pembahasan Filsafat Hukum Islam, sebab Filsafat Hukum Islam adalah sebuah metode berpikir untuk menetapkan hukum Islam dan sekaligus mencari jawaban ada apa yang terkandung dibalik hukum Islam itu sendiri.
Sedangkan kaidah ushuliyah adalah Dalil syara’ yang bersifat menyeluruh, universal, dan global (kulli dan mujmal). Jika objek bahasan ushul fiqih antara lain adalah qaidah penggalian hukum dari sumbernya, dengan demikian yang dimaksud dengan qaidah ushuliyyah adalah sejumlah peraturan untuk menggali hukum. Qaidah ushuliyyah itu umumnya berkaitan dengan ketentuan dalalah lafaz atau kebahasaan. Sumber hukum adalah wahyu yang berupa bahasa, sementara qaidah ushuliyyah itu berkaitan dengan bahasa. Dengan demikian qaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk menggali ketentuan hukum yang terdapat dalam bahasa (wahyu) itu.
Menguasai qaidah ushuliyyah dapat mempermudah fakif untuk mengetahui hukum Allah dalam setiap peristiwa hukum yang dihadapinya. Dalam hal ini Qaidah fiqhiyah pun berfungsi sama dengan qaidah ushuliyyah, sehingga terkadang ada suatu qaidah yang dapat disebut qaidah ushuliyyah dan qaidah fiqhiyah.
Dalam kaidah fiqh terdapat lima kaidah induk ( kubra ) yang yaitu;[7]
  1. Semua urusan bergantung kepada niat / setiap perkara tergantung kepada tujuannya ( Al-umur bimaqasidih )
  2. Keyakinan tidak dihilangkan dengan keraguan ( al yaqin layazul au layuzal bi al syak)
  3. Kesulitan itu membawa kemudahan ( Al masaqah tajlib at taisir)
  4. Adat / kebiasaan bisa dijadikan sebagai hokum ( al adah muahkkamah )
  5. Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain ( ad darar yuzal )
  1. Semua Urusan Bergantung Kepada Niatnya.
niat adalah keinginan yang kuat didalam hati untuk melakukan ibadah dalam rangka ibadah kepada Allah, mendekatkan diri kpd Allah
Semua perbuatan manusia dalam kaitannya dengan pelaksanaan hokum taklifi, bergantung kepada motivasinya. Niat yang mendasar adanya di dalam hati dan yang mengetahuinya hanyalah mukallaf dan Allah SWT. sumber pengambilan hokum kaidah tersebut diproduk dengan mengacu kepada Al-Qur’an surat Al Baqarah, ayat 225:
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun[8]
disebutkan juga dalam surah ali Imran ayat 145;
Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur”.
serta Al hadits, yang berbunyi Setiap perbuatan itu tergantung niatnya. Bagi setiap orag hanyalah memperoleh apa yang diniatkannya. Karena itu barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul – Nya maka Hijrahnya kepada Allah dan Rasul – Nya ”
Beberapa kaidah yang dapat ditarik daripadanya yaitu;
  1. Tidak ada pahala kecuali dengan niat, misalnya Misalnya oleh ulama syafi’iyah dan Malikiyah menganggap niat itu fardhu oleh karena itu jika sesseorang tidak berniat maka ia tidak akan mendapatkan pahala
  2. Dalam amal yang di syaratkan menyatakan niat, maka kekeliruan pernyataannya membatalkan amalnya misalnya Kekeliruan menyatakan niat shalat dhuhur dengan sembahyang ashar, menjadikan tidak sahnya amal perbuatan yang dilakukan, hal ini disebabkan masing – masing perbuatan itu dituntut adanya pernyataan niat untuk membedakan ibadah yang satu dengan yang lainnya
  3. Perbuatan yang secara keseluruhan diharuskan niat tetapi secara terperinci tidak diharuskan menyatakan niatnya, maka bila dinyatakan niatnya ternyata keliru, berbahaya misalnya Seorang bersembahyang jama’ah dengan niat ma’mum kepada Umar. Ternyata orang yang menjadi imamnya bukan Umar, tetapi Amin. Shalat Jama’ah orang tersebut tidak sah. contoh lainnya Seseorang dalam bersembahayang jenazah menyatakan niatnya menyembahyangkan jenazah Bakar. Tetapi ternyata yang disembahyangkan adalah jenazah Ali, atau niatnya untuk menyembahyangkan jenazah seorang wanita tetapi ternyata jenazahnya seorang laki – laki maka shalatnya tidak sah.
  4. Perbuatan yang secara keseluruhan maupun secara terperinci tidak di syaratkan mengemukakan niat bila dinyatakan dan ternyata keliru, tidak berbahaya misalnya Seseorang bersembahyang ’ashar dengan menyatakan niatnya bersembahyang di mesjid Agung Panyabungan, padahal ia bersembahyang di mesjid Baburrahman Kayu jati, maka sembahyang orang itu tidak batal. Sebab niat sembahyangnya sudah dipenuhi dan benar sedang yang keliru adalah pernyataan tentang tempatnya. Kekliruan tentang tempat tidak ada hubungannya dengan niat shalat.
  5. Maksud lafaz itu tergantung pada niat orang yang menyatakannya misalnya Seorang suami memanggil istrinya yang bernama Thaliq ( Orang yang terthalaq ) atau seorang pemilik budak memanggil budaknya yang bernama Hurrah ( orang yang bebas ), maka jika memanggilnya diniatkan untuk menthalak istrinya atau memerdekakan budaknya tercapailah maksudnya, sedangkan jika tidak meniatkannya maka tidak akan membawa maksud yang demikian.
Tujuan daripada pensyariatan niat adalah yang pertama niyyatul Amal yaitu membedakan masalah adat dengan ibadah contohnyathowaf, khusus tempatnya tidak boleh ditempat lain. Bila ada orang yang memutari rumah seperti thowaf tapi tujuannya nyari sesuatu yang hilang bukan ibadah apakah dikatakan bidah atau syirik.Tidak karena niatnya.contoh lain : panggilan umi dek atau ibu untuk istri termasuk yang dilarang rasulullah apakah termasuk talak?tidak.karena niatnya.contoh lain: misal seorang suami nyuruh istrinya pulang kerumah orang tuanya apakah termasuk cerai? tergantung niatnya, Membedakan satu ibadah dengan ibadah lain. Seperti : Shalat sunnah dengan shalat wajib,rawatib,dll.mandi wajib atau mandi bersih2 saja.
Kedua adalah niyyatul makmuliyah niat kepada siapa kita beribadah.ini niat yang sering dibahas dalam kitab akidah kepada siapa kita beribadah.apakah karena riya, atau hanya kepada Allah.
Seorang ulama berkata"orang yang diberi taufik oleh Allah adalah orang yang menjadikan adat kebiasaan sebagai ibadah,dan orang yang merugi adalah orang yang menjadikan ibadah sebagai adat."
Kenapa bisa demikian,  dalil nabi pernah berkata "seorang lelaki bersenggama dengan istrinya itu berpahala," lalu para sahabat bertanya "apakah seorang diantara kami mendatangkan syahwatnya lalu dia dapat pahala?"nabi menjawab :"bukankah kalo dia meletakkan syahwatnya pada tempat yang haram dia berdosa,begitu pun sebaliknya bila ditempatkan pada yang halal maka dia mendapatkan pahala." contoh : bila makan di niatkan agar kuat dalam bekerja dalam ibadah dan ibadah lain maka bernilai ibadah.
Ketiga adalah Khiyal : yaitu melakukan perbuatan haram tapi nampaknya (kelihatannya) boleh.Berkelit atau berbelok-belok seakan yang dilakukannya itu boleh tapi sebenarnya tuuannya haram. Perlu diketahui orang yang melakukan hal haram dengan cara khiyal memiliki dua kerusakan yaitu;
1.      Dia tetap melakukan dosa karena perbuatan itu tetap hukumnya haram sekalipun sehebat apapun dia berkelit.
2.      Dosa besar karena dia berusaha menipu Allah. Padahal Allah Mahatahu.
  1. Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan
Ini adalah salah satu kaidah yang disepakati para ulama. Dalil dasar kaidah ini adalah Firman Allah "tidak lah kebanyakan mereka mengikuti kecuali prasangka."
Allah mencela orang-orang yang mengikuti prasangka bukan keyakinan.
Rasulullah pernah bersabda "tinggalkan apa-apa yang meragukanmu menuju kepada apa yang tidak meragukanmu."
Karena islam menginginkan kita hidup dalam ketenangan bukan di atas keraguan, kita harus yakin, dan sampai terkena penyakit was-was. Kita harus melawan hati kita dan jiwa kita bila perlu dipaksa. hati iu sperti anak kecil, keinginannya menyusu terus sama ibunya, tapi bila dipaksa lama-lama tidak masalah.
pernah ada yang seorang yang datang kepada Syekh bin Baz: ya syeikh aku ragu-ragu apakah istriku sudah aku ceraikan?” kata Syekh: “ dia tetap istrimu karena pada asalnya orang yang sudah nikah berarti tidak cerai ( ini yang telah pasti dan harus diyakini.
Sumber qaidah dapat kita lihat pada hadist dibawah ini :
Apabila salah seorang dari kamu mendapatkan sesuatu di dalam perutnya, lalu timbul kemusykilan apakah seuatu itu keluar dari perut atau tidak, maka janganlah keluar mesjid, sehingga ia mendengar suara atau mendapatkan baunya”.
Kandungan hadis ini menjelaskan bahwa seseorang yang semula suci, kemudian ia ragu – ragu apakah ia telah mengeluarkan angin atau belum maka ia harus dianggap masih dalam keadaan suci, karena keadaan inilah yang sudah meyakinkan tentang kesuciannya sejak semula, sedang keraguan itu baru timbul kemudian. Suatu keyakinan yang sudah mntap meruapakan kekuatan yang tidak mudah digoyahkan oleh keragu – raguan.
beberapa kaidah yang dapat ditarik daripadanya yaitu:
    1. Menurut asalnya memberlakukan keadaan semula atas keadaan yang ada sekarang, misalnya Seseorang makan sahur di akhir malam dengan dicekam rasa ragu – ragu, jangan – jangan waktu fajar telah terbit. Puasa orang tersebut pada pagi harinya dihukumi sah, sebab menurut dasar asalnya diberlakukan keadaan waktunya masih malam, bukan waktu fajar.
    2. Menurut dasar yang asli tiada tanggung jawab misalnya Terdakwa menolak angkat sumpah tidak dapat diterapkan hukuman, karena menurut asalnya ia bebas dari tanggungan dan yang harus angkat sumpah ialah si pendakwa
    3. Pada dasarnya sesuatu itu tidak ada misalnya Jika seseorang menjalankan modal orang lain ( mudharabah ) melaporkan kepada pemilik modal bahwa ia tidak memperoleh laba atau memperoleh laba sedikit sekali, maka laporan orang yang menjalankan modal ini yang dibenarkan. Karena memang sejak semula diadakan perikatan mudharabaah ini belum ada keuntungan.
    4. Barang siapa ragu – ragu apakah ia telah mengerjakan sesuatu atau tidak maka menurut asalnya ia dianggap tidak mengerjakannya. misalnya Seseorang ragu – ragu sewaktu mengerjakan i’tidal atau tidak maka ia harus mengulangi mengerjakannya, sebab ia di anggap tidak mengerjakannya.
    5. Asal sesuatu adalah boleh sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya. misalnya Segala macam binatang yang sukar untuk ditentukan keharamannya lantaran tidak didapat sifat dan ciri – ciri yang dapat diklasifikasikan kepada binatang haram adalah halal dimakan.
  1. Kesulitan itu membawa kemudahan ( Al masaqah tajlib at taisir)
sumber pengambilan kaidah ini dapat kita lihat pada surat al-baqarah ayat 185:
…….. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur [9]
      Juga disebutkan dalam sabda Rasul; “Aku diutus oleh Tuhan dengan membawa agama yang penuh kecenderungan dan toleransi
misalnya Kesulitan seseorang menjalankan shalat dengan berdiri memberikan keringanan padanya mengerjakannya dengan duduk. Bila keringannan itu masih juga dirasakan berat ia diperbolehkan mengerjakannya dengan berbaring. Dan bila ini juga merupakan keberatan maka ia dizinkan shalat dengan mengerdipkan mata saja. Bila seseorang sulit menghindari najis darah nyamuk atau kepinding yang melekat pada pakiannya atau percikan air di jalalnan akibat hujan yang memercik pada celana, maka ia dimaafkan bersembahyang dengan pakaian tersebut.



d.                  Adat / kebiasaan bisa dijadikan sebagai hukum ( al adah muahkkamah )
Sumber hukumnya dari Sabda Baginda Rasulullah SAW :
”Apa yang dipandang oleh kaum muslimin, maka di sisi Allah pun baik”
misalnya:
seorang penjual yang menawarkan barang dagangannya seharga 10 dirham misalnya, maka hendaklah diartikan bahwa pengertian dirham itu ialah mata uang yang berlaku dinegeri orang yng mengdakan jual beli. Bagaimanapun bentukanya
menurut kebiasaan yang berlaku makanan yang disuguhkan kepada tamu boleh dimakan tanpa di bayar. Tetapi jika ada ketentuan lain hendaknya ada keterangan lebih dahulu, baik dengan menyuguhkan daftar harga maupun dengan pengumuman.
Penentuan kedewasaan seseorang menurut syaria’t diserahkan kepada adat kebiasaan yang berlaku disuatu negeri, syari’at hanya memberikan ancar –ancarnya saja
Dalil Al qur’an ayat 58 mennyatakan:[10]

-
di dalam ayat ini Allah menegasakan waktu untuk meminta izin dalam tiga waktu:
1.Sebelum sembayang subuh
2.setelah zuhur
3.malam
ketiga waktu ini merupakan kebiasaan ( adat ) orang lain membuka aurat. Sabda nabi “ kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian”
hukum lain menyatakan kita diperbolehkan melakukan kegiatan dan hukumnya boleh selama tidak ada hukum yang melarangnya.
  1. Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain ( ad darar yuzal )
Hal ini berarti merupakan suatu kaidah yang memerintahkan kepada kita untuk senantiasa menjaga diri dari hal yang membahayakan. dalam al-qur’an dikatakan “ janganlah janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.”
Kaidah-kaidah yang dapat ditarik adalah sebagai berikut:
1.               Kemudharatan membolehkan larangan – larangan. dalam hal ini dapat kita ambil contoh Orang yang dilanda bahaya kelaparan diperkenankan makan binatang yang diharamkan atau tanpa disembelih. hal ini dapat kita lihat dari al baqarah berikut ini;
“ Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah[108]. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [11]
2.               Sesuatu yang diperbolehkan karena darurat ditetapkan karena sekedar kedaruratannya. misalnya Seseorang yang diperkenankan berobat dengan sesuatu yang diharamkan tidak diperkenankan menjual kelebihan dari yang dipakai mengobati penyakitnya
3.               Kemudharatan itu tidak dapat dihilangkan dengan kemudharatan yang lain. misalnya seseorang yang dalam keadaan terpaksa menghajatkan seklai kepada makanan tidak boleh makan makanan milik orang lain yang dihajatnya sendiri
4.               Menolak kerusakan harus didahulukan daripada menarik kemaslahatan.misalnya . Berkumur dengan mengocok air yang berada dalam mulut sampai kepangkal tenggorokan dan menghirup air lewat hidung dalam melaksanakan wudhu adalah sunat, tetapi jika ini dilakukan dalam berpuasa maka dikhawatirkan air tersebut akan masuk ke perut yang dapat membatalkan puasa.
Kaidah Fiqhiyah memiliki kegunaan yang sangat besar bagi ahli fiqh sebab kaidah fiqh adalah sebagai pengikat (ringkasan) terhadap beberapa persoalan fiqh. Menguasai suatu kaidah berarti menguasai sekian bab fiqh.
Imam Abu Muhammad Izzuddin Ibn Abbas Salam menyatakan bahwa Kaidah Fiqhiyah mempunyai kegunaan sebagai suatu jalan untuk mendapat suatu kemaslahatan dan menolak kerusakan serta bagaimana cara mensikapi kedua hal tersebut. Sedangkan Al-Qarafi dalam al-Furu’ nya menulis bahwa seorang fiqh tidak akan besar pengaruhnya tanpa berpegang kepada kaidah fiqhiyah ( kelima kaidah induk tersebut), karena jika tidak berpegang pada kaidah itu maka hasil ijtihadnya banyak bertentangan dan berbeda antara furu-furu itu. Dengan berpegang pada kaidah fiqhiyah tentunya mudah menguasai furu-furu nya.
Lebih lanjut berbicara tentang kegunaan Kaidah Fiqhiyah ini adalah sebagaimana disebutkan oleh Ali Ahmad al-Nadwi sebagai berikut :
1. Mempermudah dalam menguasai materi hukum karena kaidah telah dijadikan patokan yang mencakup banyak persoalan.
2. Kaidah membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang banyak diperdebatkan, karena kaidah dapat mengelompokkan persoalan-persoalan berdasarkan illat yang dikandungnya.
3. Mendidik orang yang berbakat fiqih dalam melakukan analogi (ilhaq) dan takhrij untuk mengetahui hukum permasalahan-permasalahan baru.
4. Mempermudah orang yang berbakat fiqh dalam mengikuti (memahami) bagian-bagian hukum dengan mengeluarkannya dari thema yang berbeda-beda serta meringkasnya dalam satu topik tertentu.
5. Meringkas persoalan-persoalan dalam satu ikatan menunjukkan bahwa hukum dibentuk untuk menegakkan maslahat yang saling berdekatan atau menegakkan maslahat yang lebih besar.
6. Pengetahuan tentang kaidah merupakan kemestian karena kaidah mempermudah cara memahami furu yang bermacam-macam.
Demikian kegunaan kaidah yang disampaikan oleh Ali Ahmad al-Nadwi. Secara sederhana, kegunaan kaidah fiqh adalah sebagai pengikat (ringkasan) terhadap beberapa persoalan fiqh. Menguasai suatu kaidah berarti menguasai sekian bab fiqh. Oleh karena itu, mempelajari kaidah dapat memudahkan orang yang berbakat fiqh dalam menguasai persoalan-persoalan yang menjadi cakupan fiqh.
Hal yang berhubungan dengan Fiqh sangat luas, mencakup berbagai hukum furu’. Karena luasnya, maka itu perlu ada kristalisasi berupa kaidah-kaidah umum (kulli) yang berfungsi sebagai klasifikasi masalah-masalah furu’ menjadi beberapa kelompok. Dan tiap-tiap kelompok itu merupakan kumpulan dari masalah-masalah yang serupa. Hal ini akan memudahkan para mujtahid dalam mengistinbathkan hukum bagi suatu masalah, yakni dengan menggolongkan masalah yang serupa dibawah lingkup satu kaidah.









BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Kaidah Fiqhiyah (hukum) adalah dasar-dasar yang bertalian dengan hukum syara’  yang bersifat mencakup (sebahagian besar bahagian-bahagiannya) dalam bentuk teks-teks perundang-undangan yang ringkas (singkat padat) yang mengandung penetapan hukum-hukum yang umum pada peristiwa-peristiwa yang dapat dimasukkan pada permasalahannya.

Adapun 5 kaidah besar ( induk ) yang dikatakan oleh para ulama sebagai kaidah fiqih kubra, adalah:
1.Semua amal tergantung kpd niat / setiap perkara tergantung kpd tujuannya
2.Keyakinan tidak dihilangkan dengan keraguan.Al yaqinu la ya zunu bi syak.
3.Kesulitan itu membawa kemudahan
4.Adat bisa dijadikan sebagai hokum
5.Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain.
B.     Saran
Agama islam merupakan agama yang besar, dan dalam al quran dinyatakan sebagai agama terakhir yang di ridhai oleh Allah SWT. Sebagai generasi yang akan meneruskan perjuangan ulam dan mujtahid kita, maka mari kita perkaya ilmu kita tentang kaidah hokum islam. Disinilah letak kemenangan kita dalam berargumentasi dengan mereka yang ingin kita goyah.








DAFTAR PUSTAKA
Muchlis Usman. Kaidah Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah Pedoman Dasar Dalam Istinbath Hukum Islam, Jakarta. Raja Grafindo Persada. 1993.
Prof. DR Rachmat Syafe’I, MA. Ilmu Ushul Fiqih, Bandung Pustaka Setia 1998
Paper Dwi Iswahyuni, Kaidah-kaidah Fiqhiyah, Program Studi Timur Tengah dan Islam, Program Pascasarjana, UI, 2007
Abdurrahman, Asjmuni, Prof. Drs. H., Qawaid Fiqhiyah : Arti, Sejarah dan Beberapa Qaidah Kulliyah, (Yogyakarta : Suara Muahammadiyah, 2003).
Mubarok, Jaih, Kaidah Fiqh, Sejarah dan Kaidah Asasi, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002).
Mujib, Abdul, Drs. H., Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih : Al-Qawa�idul Fiqhiyyah, (Jakarta : Kalam Mulia, 2004).
Usman, Muchlis, Drs. MA. H., Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah : Pedoman Dasar Dalam Istinbath Hukum Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002).



[1] Muchlis Usman. Kaidah Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah Pedoman Dasar Dalam Istinbath Hukum Islam, (Jakarta. Raja Grafindo Persada. 1993). h. 21
[2] Ibid.
[3] Mujib, Abdul, Drs. H., Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih : Al-Qawa�idul Fiqhiyyah, (Jakarta : Kalam Mulia, 2004). h. 22
[4] Al-Qur’an: al-baqarah ayat 26
[5] Prof. DR Rachmat Syafe’I, MA. Ilmu Ushul Fiqih,  (Bandung Pustaka Setia 1998). h. 23
[6] Usman, Muchlis, Drs. MA. H., Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah : Pedoman Dasar Dalam Istinbath Hukum Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002). h. 10
[7] Mujib, Abdul, Drs. H., Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih : Al-Qawa�idul Fiqhiyyah, (Jakarta : Kalam Mulia, 2004). h. 24
[8] Al-Qur’an , Al-Baqarah 225
[9] Al-Qur’an, al-baqarah ayat 185
[10] Al-Qur’an, An Nur: 58
[11] Al-Qur’an al-baqarah ayat 182

2 komentar:

rizky alfares mengatakan...

alhamdulillah.. saya bisa mengerti kaidah islam yang sangat baik
terimah kasih

rizky alfares mengatakan...

persaudaraan antar umat muslim